1. Definisi
Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah
cedera pembedahan,di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh
peradangan) di dalam ruang tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh
mengganggu suplai darah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan
intra-abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat menyebabkan
kerusakan saraf dan otot kematian.
Sindrom kompartemen
abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari
hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya
tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang
dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan sistem organ. Tekanan
intra-abdomen normal antara 0-5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis
normal IAP dapat mencapai antara 5-7 mmHg.
Hipertensi intra-abdomen
didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen (IAP) lebih
dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60 mmHg, dimana
tekanan perfusi abdomen:
(APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) ±
tekanan intra-abdomen (IAP)
Berbeda dengan hipertensi
intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi
lebih didasarkan sebagai fenomena.
Sindrom kompartemen abdominal adalah suatu kondisi yang
sangat berpotensi akan terjadinya kematian, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa kasus yang
menyebabakan hipertensi intra-abdominal; penyebab tersering adalah trauma tumpul abdominal.
Peningkatan tekanan intra-abdominal menyebabkan hipoperfusi dan iskemik usus
besar, dan selaput perut
lainnya. Efek patofisiologi termasuk pelepasan sitokin, oksigen radikal bebas, dan penurunan produksi sel (adenosine
triphosphat). Proses ini memungkinkan terjadinya translokasi bakteri yang
berasal dari usus dan edema usus besar, yang
merupakan faktor pencetus terjadinya sindrom disfungsi organ pada pasien.
Konsekuensi dari sindrom kompartemen abdomen sangat besar dan mempengaruhi banyak sistem vital
pada tubuh. Hemodinamik, respirasi, renal, dan abnormalitas neurologi adalah
bagian-bagian yang dipengaruhi sindrom kompartemen abdomen. Penatalaksanaan
medis berupa laparatomi. Asuhan keperawatan berupa keterlibatan perawat
terhadap monitoring kondisi klien, termasuk ukuran tekanan intra-abdominal.
ACS
dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan penyebabnya :
1.
Primer
atau ACS akut : jika patologi
intra-abdominal terjadi
secara langsung di bagian proksimal.
2.
ACS
sekunder : tidak terdapat
luka intra-abdominal, tetapi di luar abdominal yang
dikarenakan akumulasi cairan.
3.
ACS
kronik : jika disebabkan
oleh sirosis dan asites (biasanya pada stadium lanjut ACS).
Pada bagian gawat darurat dan ICU, klien diduga mengalami ACS
jika terjadi metabolik asidosis, penurunan output urin, dan penurunan curah
jantung. Penyebab kasus ini hampir mirip dengan gejala patologis yang lain, seperti
hipovolemi.
2. Etiologi
Sindrom kompartemen abdomen terjadi
ketika IAP terlalu tinggi, mirip dengan sindrom kompartemen dalam ekstremitas.
Ada 3 jenis sindrom kompartemen abdomen yang berbeda dan
kadang-kadang menyebabkan tumpang tindih.
1) Primer
(akut)
a. Menembus trauma
b. Intraperitoneal pendarahan
c. Pankreatitis
d. Eksternal mengompresi kekuatan, seperti
puing-puing dari sebuah kendaraan
bermotor tabrakan atau setelah struktur besar ledakan
e. Patah tulang panggul
f. Pecahnya aneurisma aorta perut
g. Perforasi ulkus peptikum
2) Sekunder
Sekunder ACS dapat terjadi pada pasien tanpa cedera
intra-abdomen, ketika cairan terakumulasi dalam volume yang cukup untuk
menyebabkan IAH.
a. Resusitasi dengan volume besar
menunjukkan peningkatan risiko signifikan ketika diberikan cairan lebih dari 3
L.
b. Area luka bakar yang luas dan
tebal menunjukkan sindrom kompartemen
abdomen dalam waktu 24 jam pada pasien luka bakar yang menerima rata-rata dari
237 mL / kg selama 12-jam dalam 2 periode (Hobson et al,2002)
c.
Menembus
atau trauma tumpul tanpa cedera diidentifikasi
d.
Pascaoperasi
e.
Pengepakan
dan penutupan fasia utama, yang meningkatkan insiden
f.
Sepsis
3) Kronis
a.
Peritoneal
dialysis
b.
Morbid
obesitas
c.
Serosis
d.
Meigs
sindrom (kumpulan dari asites, efusi pleura,dan tumor jinak ovarium)
3. Faktor
Resiko
1. Penurunan daya komplians dinding
abdomen
a. Gagal napas akut khususnya dengan
tekanan intra-thorakal yang meningkat.
b. Pembedahan abdomen dengan jahitan
primer fasia tertutup yang ketat.
c. Trauma mayor/ luka bakar
d. Posisi telungkup, tinggi kepala bed
> 30 derajat
e. Indeks massa tubuh yang tinggi,
obesitas
2. Peningkatan isi intra-lumen
Gastroparesis, Ileus, pseudo-obstruksi kolon
3. Peningkatan isi abdomen
Hemoperitoneum / pneumoperitoneum, Ascites / disfungsi hati
4. Kebocoran kapiler/ resusitasi cairan
a. Asidosis
b. Politransfusi (>10 unit darah / 24
jam)
c. Koagulopati (platelet <> 15
detik atau partial thromboplastin time (PTT) > 2kali normal atau
international standardised ratio (INR) > 1.5)
d. Resusitasi cairan yang masif (> 5
L / 24 jam), Pankreatitis, Oliguria, Sepsis
e. Trauma mayor/ luka bakar, laparotomi
kontrol kerusakan.
4. Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut
dapat menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma
aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa
menimbulkan hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan
perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah
penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen.pembedahan perut dengan
tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam
ruang peritoneal. Distensi usus sebagai akibat dari syok hipovolemik dan
perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab penting hipertensi
intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada pasien trauma.
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system
syaraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal,
dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak.
Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus.
Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi
positif yang mencirikan pathogenesis hipertensi intra-abdomendan
perkembangannya menjadi ACS :
1.
Pelepasan
sitokinin
2.
Pembentukan
oksigen radikal bebas
3.
Penurunan
produksi adenosine trifosfat pada sel
Sebagai respon terhadap jaringan yang
mengalami hipoksia, maka sitokinin dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengarah pada
terjadinya edema. Setelah seluler mengalami reperfusi, oksigen radikal bebas
dihasilkan. Agen ini memiliki efek toksik pada membran sel yang kondisinya
diperparah oleh adanya sitokinin, yang merangsang pelepasan radikal lebih banyak
lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami
keterbatasan produksi adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari
adenosine triphosphat ini tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard, 2009)
Yang terkena dampak adalah pompa
natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peraturan
intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam
sel sehingga menarik air. Sel membengkak, selaput kehilangan integritas, isi
intraseluler keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan inflamasi (peradangan).
Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari kebocoran
kapiler, dan jaringan di usus semakin membengkak akibat dari semakin
meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu,
hipoksia seluler, kematian sel, peradangan, edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlík, J. 2004)
Jadi, pada hipertensi intra-abdomen
dapat menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan
intra-abdomen. Apabila tekanan intra-abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan
terjadinya penurunan perfusi jaringan dan akhirnya terjadi edema yang juga
dapat memperparah peningkatan tekanan intra-abdomen. Meningkatnya tekanan
intra-abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan kompartement sindrom abdominal.
Patofisiologi
dampak ACS pada berbagai sistem organ :
a.
Disfungsi ginjal
Disfungsi ginjal
merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS pada system
ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAP yang meningkat.
IAP 15±20 mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebih dari 30 mmHg
dapat terjadi anuria. Mekanisme terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak
faktor. ACS membuat
gangguan pada kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran arteri ginjal, meningkatkan
resistensi vaskular
ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus dan kompresi vena
ginjal.
b.
Disfungsi paru
Peningkatan IAP
berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami resultan reduksi
progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan
volume residu. Ini ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma
pada radiografi dada. Perubahan ini ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi
kegagalan respirasi selanjutnya akibat hipoventilasi dari hasil elevasi
progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai hasil dari pengurangan
tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak. Pada akhirnya,
disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan
tekanan ventilasi
c.
Disfungsi jantung
Peningkatan IAP
secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung.Ini ditinjukkan
pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakanhasil dari penurunan
alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada venacava dan vena porta.
Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava
superior dan inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di
hiatus cavum diafragma. Ini berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba
antara abdomen dan rongga dada. Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan
kompresi jantung dan pengurangan volume akhir diastolik. Kenaikan
resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan vasokonstriksi arteriolar dan
IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke volume berkurang dimana
hanya satu-satunya yang dikompensasi dengan meningkatkan detak jantung
dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan
curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan
ini terjadi eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia.Perubahan hemodinamik
signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
d.
Disfungsi hepar
Penurunan aliran
darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan dengan IAH.
Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q
konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga
55%, aliran vena porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasimikro hepatic
berkurang hingga 29% dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran
sirkulasi mikro hepatik yang sama juga terjadi pada pasien dengan kolesistektomi
per laparoskopi. Pasien dengan trauma kemungkinan meningkat resiko sekunder
terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral yang terjadiselama syok
e.
Disfungsi Splaknik
Sama seperti
dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek predominan
dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusisplaknik
dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemiaintestinal yang
memerlukan intervensi operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15
mmHg pneumoperitonium. Bagaimanapun aliran darah arterimesenterikum, mukosa
usus, dan vena porta telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat
diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster yangmengindikasikan
penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi menunjukkan bahwapenurunan perfusi
gaster disimpulkan dengan penurunan pHi gaster yangberkurang lebih awal dari
tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan puncak inspirasimeningkat). Penurunan
perfusi gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP
yang meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yangmeningkat. Ini
kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi varises esophagus pada
pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP hingga 10 mmHgmenghasilkan
peningkatan tekanan varises, volume, radius dan ketegangan dinding. Sebagai
tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi ditunjukkan
dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi
septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dankegagalan organ
multipel.
f.
Disfungsi system saraf pusat
Meskipun ACS
tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapathubungan erat antara
IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan
pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanismepeningkatan tekanan intrathora
dimana dihasilkan dari IAH, elevasi media padadiafragma. Peningkatan tekanan
intra-thorak meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS
secara klinis dan ICP yang meningkat telahterkoreksi ICP dengan laparotomi
dekompresi. Dengan demikian pemantauan IAPdisarankan pada pasien dengan
neurotrauma dan cedera abdomen atau curiga IAHdengan pemikiran untuk dekompresi
pada peningkatan ICP.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis ACS antara lain
(Paula Richard MD, 2009) :
1.
Distensi abdomen yang berat
2.
Gagal napas yang ditandai dengan PCO2
yang meningkat, volume tidal yang berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
3.
Curah jantung yang menurun
4.
Tekanan darah yang labil
5.
pH rendah yang menetap
6.
Oliguria yang tidak respon terhadap
terapi konvensional
7.
Tekanan intra abdomen yang meningkat
(> 40 mm Hg)
Gejala klinis yang terjadi pada
ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :
1.
Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat
peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri
merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak
sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2.
Pallor (pucat), diakibatkan oleh
menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3.
Pulselesness (berkurang atau hilangnya
denyut nadi)
4.
Parastesia (rasa kesemutan)
5.
Paralysis, merupakan tanda lambat akibat
menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang
terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan gejala yang khas pada
kompartemen sindrom, yaitu:
1.
Nyeri yang timbul saat aktivitas,
terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20
menit.
2.
Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh
setelah beristirahat 15-30 menit
3.
Terjadi kelemahan atau atrofi otot
(Irga, 2008)
6. Pemeriksaan Diagnostik
1.
Laboratorium :
a.
Comprehensive metabolic panel (CMP)
b.
Complete blood cell count (CBC)
c.
Amylase and lipase assessment
d.
Prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi heparin
e.
Test untuk marker jantung
f.
Urinalisis and urine drug screen
g.
Pengukuran level serum laktat
h.
Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur
deficit pH, laktat dan basa.
2.
Radiografi :
a.
Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau
obstruksi usus.
b.
Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam
mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal.
c.
CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada
tahun 1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan
sindrom kompartemen abdominal :
1)
Round-belly sign – distensi abdomen dengan rasio diameter
abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P
<0.001)
2)
Kolaps vena kava
3)
Penebalan dinding usus dengan enhancement
4)
Hernia inguinal bilateral
5)
USG Abdomen
6)
Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
7)
Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan
7. Penatalaksanaan
Tekanan Intra
Abdomen dibagi atas:
1. Grade
I : IAP 12 – 15 mmHg
2. Grade
II : IAP 16 – 20 mmHg
3. Grade
III : IAP 21 – 25 mmHg
4. Grade
IV : IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis adalah tidak akurat dalam
memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur IAP,
yakni dengan cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis peritoneal
atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan
intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode
ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh
dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha untuk
melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan hasil pengukuran IAP
dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir pada posisi supine
setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen. Nilai normal IAP adalah 5-7
mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika
merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat untuk mengukur tekanan intra
abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan pada tekanan
intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik
dengan tekanan intraperitoneal. (Iberti, 1997).
Penanganan
harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis
yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid
pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi
dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume
dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik
keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila
oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi
lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami
cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus
dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini
sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara
20 hingga 25 mmHg.
a. Sistem grade
kompartemen abdominal
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I 10–15
Pertahankan normovolemia
II 16–25
Resusitasi Hipervolemik
III 26–35
Dekompresi
IV >35 Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :
1. Memperbaiki
komplians dinding abdomen
- Sedasi dan
analgesik
- Blokade
neuromuskular
- Hindari
ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2. Evakuasi isi
intra-lumen
- Dekompresi
nasogaster
- Dekompresi
rektum
- Agent
gastro-/colo-prokinetik
3. Evakuasi
kumpulan cairan abdominal
- Parasentesis
- Drainase
perkutan
4. Koreksi
keseimbangan cairan positif
- Hindari
resusitasi cairan berlebih
- Diuretik
- Koloid /
cairan hipertonik
- Hemodialisis
/ ultrafiltrasi
5.
Organ Pendukung
-
Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
-
Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
-
Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
-
Pplattm = Pplat – IAP
-
Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
-
Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
-
PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
-
CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima
intervensi terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1.
Evakuasi isi intralumen
2.
Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3.
Memperbaiki komplians dinding abdomen
4.
Optimalkan kebutuhan cairan
5.
Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik
b. Manajemen pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien
dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal
closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak
akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai
profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah
re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan
temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure
pada hari berikutnya.
c. Temporary abdominal closure
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan
pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis
atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan
dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan
sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa
digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid
(Vicryl™), polypropylene (Marlex™), atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan
yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial
(Velcro-like), kantung cairan intravena (“Bogotá bag”), kantung kaset x-ray
steril, dan kertas Silastic telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau
dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain,
perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup
dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape™ or
Steri Drape™). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan
fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja
menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan
nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat
menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya
sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen
anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril
ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape ™ atau tirai Steri ™) yang
menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi,
pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi
langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous fistula
dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal
ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau
perdarahan.
d. Permanent abdominal closure
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia,
coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat
hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah
dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat
ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan
yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup
dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya.
Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini.
Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut,
dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan
kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral
kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan
kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan
myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat
mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
Pasien yang
dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko terjadinya
IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau lebih
faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan,
pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran
IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung
(sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan
infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma
buli-buli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli.
Gold standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk
mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley
kateter melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong
urin letak distal dari lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong
urin ke Foley kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan
kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang
aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser menggunakan
puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam posisitelentang.
Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan di
selang dapat digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.
8. Komplikasi
Jika kompartemen sindrom tidak
mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi
antara lain (Irga, 2008) :
1.
Nekrosis pada syaraf dan otot dalam
kompartemen
2. Kontraktur
volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan,
jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3.
Trauma vascular
4.
Gagal ginjal akut
5.
Sepsis
6.
Acute respiratory distress syndrome
(ARDS)
9. Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS
dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya. Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan
kasus ACS sekitar 53%. Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka
penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi
10. Asuhan Keperawatan
3.1
KASUS
SEMU
Ny.
S, 35 tahun datang ke RS Pendidikan
Universitas Airlangga dengan keluhan sesak, bagian perut semakin membesar, mual,
muntah, dan terjadi oliguria, pasien juga terlihat tampak kurus dan BB semakin menurun. Tekanan darah labil, GCS = 4-5-6. Seminggu
sebelum MRS, klien mengeluh nyeri hebat di perut bagian bawah. Sekitar 1 tahun yang lalu Ny. S pernah mengalami
kecelakaan dan pernah rawat inap
karena mengalami
trauma tumpul pada perutnya.
3.2
PENGKAJIAN
1.
Identitas
klien
Identitas
klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat tanggal masuk rumahsakit, diagnose medis.
Nama
: Ny.S
Jenis
Kelamin : Perempuan
Umur : 35 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat :
Surabaya
Masuk
RS : 1 Mei 2012
2.
Keluhan
utama
Klien mengeluh nyeri di bagian perut bawah
3.
Riwayat
penyakit saat ini
Klien mengeluh rasa tidak nyaman pada abdomen dan mual muntah. 2 minggu SMRS, klien mengeluh nyeri hebat pada perut
bagian bawah saat melakukan aktivitas berat dan mereda dalam keadaan rileks. Saat
dalam keadaan nyeri, klien meminum analgesik untuk meredakan nyeri yang klien
rasakan. Klien tidak memeriksakan keadaannya tersebut sampai bagian perutnya
membesar disertai nyeri hebat dan sesak.
4.
Riwayat
penyakit dahulu
Sekitar 1 tahun yang
lalu, klien pernah kecelakaan dan mengalami trauma tumpul pada perut. Klien
mengaku tidak mempunyai penyakit gastritis, apendisitis, asma dan mengaku tidak
memiliki riwayat alergi.
5.
Riwayat
penyakit keluarga
Tidak
ada
6.
Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
a.
Intrapersonal
: Klien
merasa cemas
b.
Interpersonal : -
7.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
fisik pada klien dengan compartemen sindrom abdomen meliputi pemeriksaan fisik
umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
a. B1
(Breath) : Sesak, nafas tidak teratur
b. B2
(Blood) : Pucat, peningkatan tekanan
darah, penurunan nadi
c. B3
(Brain) : Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak
tenang. Data psikologis Klien nampak
gelisah.
d. B4
(Bladder) : Oliguria
e. B5
(Bowel) : Mual, muntah, nafsu makan
menurun. Nyeri tekan pada abdomen
f. B6 (Bone) : Kelemahan, lelah
3.3 ANALISIS DATA
Data
|
Etiologi
|
Masalah
|
DS : Klien mengeluh nyeri
DO :
P : Nyeri timbul akibat adanya
benturan tumpul pada abdomen saat kecelakaan
Q : Nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk-tusuk
R : Terasa nyeri di bagian
perut bawah
S : Skala nyeri 8 (skala antara
1-10)
T : Nyeri timbul ketika klien
melakukan pergerakan
|
Trauma tumpul abdomen
Perdarahan
intra abdomen
Hipertensi intra-abdomen
Nyeri
|
Nyeri
|
DS : Klien mengeluh sesak saat
bernafas
DO : RR meningkat, RR = >20
x/menit
|
Tekanan intra-abdomen meningkat
Relaksasi diafragma terhambat
Kapasitas residual fungsional
Suplai O2 menurun
Sesak
Ketidakefektifan
pola nafas
|
Ketidakefektifan pola nafas
|
DS : Klien mengeluh lemas
DO : Klien terlihat pucat
Nadi : < 60 x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : < 20 x/menit
Akral : Dingin dan lembab
CRT : > 3 detik
|
Trauma abdomen
Perdarahan antara peritonial
Penurunan volume darah
Penurunan arus balik vena
Penurunan isi sekuncup
Penurunan curah jantung
Penurunan
perfusi jaringan
|
Penurunan perfusi jaringan
|
DS : Klien mengeluh jarang
buang air kecil
DO : Urine output sedikit,
<400 cc/24 jam, urin berwarna kuning pekat
|
Peningkatan tekanan intra-abdomen
Tekanan di pembuluh ginjal
Resistensi vaskular ginjal
Oliguria
Perubahan
pola eliminasi
urin
|
Perubahan pola eliminasi urin
|
DS : Klien mengeluh tidak nafsu
makan dan mual
DO :
A :
BB → 55 Kg, sedangkan BB
idealnya 64,8 Kg
TB → 172 cm
LILA→30 cm
B = kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit,
Albumin 3,5 gr/dl
C = Klien merasa mual dan
terlihat lemas, membran mukosa pucat
D = Klien hanya menghabiskan
setengah porsi ketika makan. Jenis diet tinggi kalori, tinggi protein
|
Nyeri
Mual & muntah
Penurunan intake nutrisi
Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
|
Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
|
DS : Klien mengeluh cemas
dengan keadaan penyakit yang dialaminya
DO :
-
Insomnia
-
Gelisah
|
Penatalaksanaa pembedahan
Pre
Operasi
Kurang pengetahuan
Anxietas
|
Anxietas
|
3.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri
berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan
iskemik jaringan
2. Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan
diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
3. Penurunan
perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan yang mengakibatkan syok
hipovolemik
4. Perubahan
pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
5. Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan nafsu makan menurun akibat adanya mual dan
muntah
6. Anxietas
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI yang
berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan
3.5 INTERVENSI
1. Nyeri
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil:
-
Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan
berkurang atau dapat diadaptasi
-
Klien tidak merasa kesakitan.
-
Dapat mengidentifikasi aktifitas yang
meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tampak rileks (TD = 120/80 mmHg, N = 80 x/menit, RR = 15
x/menit)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Berikan
kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman.
2.
Mengajarkan
tehnik relaksasi dan metode
distraksi
3.
Beritahu
pasien untuk menghindari mengejan, meregang, batuk, dan mengangkat benda yang
berat. Ajarkan pasien untuk menekan insisi dengan tangan atau bantal selama
episode batuk; ini khususnya penting selama periode pascaoperasi awal dan
selama 6 minggu setelah pembedahan.
4.
Kolaborasi analgesic
5.
Kolaborasi
pembedahan, seperti Laporotomi dekompresi
6.
Observasi
tingkat nyeri dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian analgesik
untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1-2 hari.
|
1.
Istirahat akan merelaksasi semua jaringan
sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
2.
Akan melancarkan peredaran darah,
dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan
3.
Menghindari adanya tekanan intra
abdomen
4.
Analgesik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri berkurang
5.
Merupakan
gold standard dalam penanganan pasien
dengan AC
6. Pengkajian
yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
|
2. Ketidakefektifan
pola napas berhubungan dengan
distensi abdomen
Tujuan : Dalam waktu 3x 24 jam tidak
terjadi perubahan pola napas. Klien dapat bernapas normal.
Kriteria hasil : Klien tidak sesak napas, RR dalam batas
normal16- 20x/ menit, ekspansi dada normal
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji frekuensi, irama,
kedalaman pernafasan
2. Auskultasi bunyi nafas
3. Pantau penurunan bunyi nafas
4. Pastikan kepatenan O2
binasal
5. Berikan posisi yang nyaman :
semi fowler
6. Berikan instruksi untuk
latihan nafas dalam
7. Catat kemajuan yang ada pada
klien tentang pernafasan
|
1. Frekuensi, irama, dan
kedalaman napas yang normal menunjukkan pola napas yang efektif
2. Mendengarkan suara napas
klien normal atau tidak
3. Penurunan bunyi napas klien
menunjukkan adanya gangguan pada jalan napas.
4. Memenuhi kebutuhan oksigenasi
klien.
5. Posisi semi fowler mempermudah
udara masuk sehingga klien dapat bernapas dengan optimal.
6. Dengan latihan napas yang
rutin, klien dapat terbiasa untuk napas dalam yang efektif.
7. Sebagai indikator efektif atau
tidakkah intervensi yang dilakukan perawat pada klien.
|
3. Penurunan perfusi
jaringan berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Perfusi
jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil
Kriteria hasil :
-
Terpeliharanya dan meningkatnya tingkat
kesadaran
-
Menampakkan stabilitas tanda vital
-
Peran pasien menampakkan tidak adanya
kemunduran / kekambuhan
Intervensi
|
Rasional
|
1. Monitor dan catat status
neurologis secara teratur
2. Evaluasi pupil (ukuran
bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya)
3. Monitor tanda – tanda vital
4. Bantu untuk mengubah
pandangan, misalnya pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi
lapang pandang
5. Bantu meningkatkan fungsi,
termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi
6. Pertahankan tirah baring,
sediakan lingkungan yang tenang, atur kunjungan sesuai indikasi
7. Kepala dielevasikan perlahan
lahan pada posisi netral
8. Berikan suplemen oksigen
sesuai indikasi
|
1. Memantau keadaan klien yang
berhubungan dengan sarafnya
2. Mengetahui fungsi pupil
masih normal atau tidak
3. Memantau keadaan klien
melalui TTV
4. Membantu klien memperjelas
penglihatannya untuk kenyamanan klien
5. Dengan bicara normal, klien
bisa berkomonikasi dengan baik
6. Memberi kesempatan klien
untuk istirahat total agar staminanya bisa pulih
7. Dengan posisi elevasi, klien
bisa bernapas dengan mudah dan mencegah pusing
8. Memenuhi kebutuhan oksigen
klien agar klien dapat bernapas dengan normal
|
4.
Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
Tujuan : Mengembalikan pola eliminasi urin normal.
Kriteria
hasil : Klien menunjukkan pola pengeluaran
urin yang normal, klien menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi
urin.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
|
1. Pengeluaran urine mungkin sedikit
dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis
sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
2. Terapi diuretic dapat disebabkan
oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun
edema/asites masih ada.
3. Posisi tersebut meningkatkan
filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan dieresis
4. Hipertensi dan peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan
kongesti paru, gagal jantung
5. Kongesti visceral (terjadi pada GJK
lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
|
5.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan nafsu makan manurun akibat adanya mual dan
muntah
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi
dengan adekuat
Kriteria
hasil :
-
Antropometri: berat badan tidak turun
(stabil), tinggi badan, lingkar lengan
-
Biokimia: albumin normal dewasa
(3,5-5,0) g/dl
Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
-
Klinis: tidak tampak kurus, terdapat
lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah
-
Diet: klien menghabiskan porsi makannya
dan nafsu makan bertambah
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien
2.
Jelaskan pentingnya makanan bagi
proses penyembuhan.
3.
Mencatat intake dan output makanan klien.
4.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
5.
Manganjurkn makan sedikit- sedikit tapi sering.
|
1.
Mengetahui kekurangan nutrisi klien.
2.
Dengan pengetahuan yang baik
tentang nutrisi akan memotivasi untuk meningkatkan pemenuhan nutrisi.
3.
Mengetahui perkembangan pemenuhan
nutrisi klien.
4.
Ahli gizi adalah spesialisasi
dalam ilmu gizi yang membantu klien memilih makanan sesuai dengan keadaan
sakitnya, usia, tinggi, berat badannya.
5.
Dengan sedikit tapi sering
mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung.
|
6.
Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI
yang berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah
kekambuhan
Tujuan : Klien memiliki pengetahuan untuk menjaga kesehatannya
Kriteria hasil : Klien bisa menjaga
agar peningkatan intra abdomen tidak terjadi.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Ajarkan
pasien untuk waspada dan melaporkan nyeri berat, menetap ; mual dan muntah ;
demam ; dan distensi abdomen, yang dapat memperberat awitan inkarserasi atau
strangulasi usus.
2. Dorong
pasien untuk mengikuti regimen pengobatan : penggunaan dekker atau penyokong
lainnya dan menghindari mengejan, meregang, konstipasi, mengangkat benda yang
berat.
3. Anjurkan
pasien untuk mengkonsumsi diet tinggi residu atau menggunakan suplemen diet serat
untuk mencegah konstipasi. Anjurkan masukan cairan sedikitnya 2 – 3 L/hari
untuk meningkatkan konsistensi feses lunak.
4. Beritahu
pasien mekanika tubuh yang tepat untuk bergerak dan mengangkat, yaitu jangan terlalu melakukan banyak kegiatan dan
jangan mengangkat beban yang terlalu berat
|
1. Nyeri
dapat segera diatasi, sehingga komplikasi tidak terjadi.
2. Menghindari
adanya peningkatan tekanan intra abdomen
3. Saluran
pencernaan menjadi lancar dan tidak ada konstipasi sehinggan mengejan tidak
dilakukan.
4. Mengangkat
beban yang terlalu berat akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen.
|
4.1
KESIMPULAN
Kompartemen sindrom
abdomen adalah peningkatan tekanan intra-abdomen setelah cedera pembedahan
(biasanya disebabkan oleh peradangan). Gejala yang ditimbulkan meliputi
hipoksia usus, distensi usus, oliguri, sesak napas. Klien mengalami gangguan
ini jika terjadi metabolic asidosis, penurunan output urin, dan penurunan curah
jantung. Penyebab kasus ini hampir mirip dengan gejala patologis yang lain,
seperti hipovolemi.
Hipertensi
intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnyatekanan
intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen(APP) kurang
dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekananarteri rata-rata
(MAP) ± tekanan intra-abdomen (IAP).
Penanganan harus
berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. Grade I IAH secara
umum hanya memerlukan resusitasi volumedengan pemantauan tekanan berkelanjutan.
Pasien dengan grade II harus ditanganiberdasarkan gejalanya. Grades III dan IV
ditangani dengan operasi dekompresi. Sebab laparotomi dekompresi merupakan gold
standard dalam penanganan pasien dengan ACS.
4.2
SARAN
Sebaiknya
sedini mungkin penanganan diawali dengan berbagai tes laboratorium, disusul
pada pemberian antibiotik, hingga akhirnya diadakan operasi karena banyak
komplikasi yang ditimbulkan oleh kegawatan sistem pencernaan ini. Proses asuhan
keperawatan yang tepat juga akan menentukan proses penyembuhan dari penyakit
kompartemen sindrom abdomen tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Artawijaya,
Agung. 2010. Anatomi Abdomen ~ Catatan Radiograf ™.
catatanradiograf.blogspot.com/2010/08/anatomi-abdomen.htmi. Diakses tanggal 5
mei 2012
American
Journal of Roentgenologi. 2007. Vol 189, No 5 1037-1043.
Doenges,
Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Irga.
2008. Sindroma Kompartemen. Diakses 12 November 2008.
http://www.passangereng.blogspot.com
Jenkins,
T. P. N. 2005. Volume 63, 11:873-876. Http://pmj.bmj/content/36/416/388.short.
Diakses tanggal 20 April 2012 pukul 20.35 WIB
Kumalasari,
Arief Muttaqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika: Jakarta.
Paula,
Richard MD. 2009. Abdominal Compartment Syndrome. Available at
www.emedicine.com / 829008-overview.htm
Pleva,
J. ír, M. Mayzlík, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome inPolytrauma. In:
Biomed. Papers 148(1), 81±84 (2004). Available
athttp://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
Wilkinson,
M. Judith. 2006. NIC NOC: Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 7. Jakarta: EGC
Wilkinson,
Judith, M. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria NOC. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar