Jumat, 25 Mei 2012

Abdominal Compartment Syndrome


1. Definisi
Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah cedera pembedahan,di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh peradangan) di dalam ruang tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh mengganggu suplai darah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan intra-abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot kematian.
Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan sistem organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0-5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5-7 mmHg.


Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen:
(APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) ± tekanan intra-abdomen (IAP)
Berbeda dengan hipertensi intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena.
Sindrom kompartemen abdominal adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi akan terjadinya kematian, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa kasus yang menyebabakan hipertensi intra-abdominal; penyebab tersering adalah trauma tumpul abdominal. Peningkatan tekanan intra-abdominal menyebabkan hipoperfusi dan iskemik usus besar, dan selaput perut lainnya. Efek patofisiologi termasuk pelepasan sitokin, oksigen radikal bebas, dan penurunan produksi sel (adenosine triphosphat). Proses ini memungkinkan terjadinya translokasi bakteri yang berasal dari usus dan edema usus besar, yang merupakan faktor pencetus terjadinya sindrom disfungsi organ pada pasien. Konsekuensi dari sindrom kompartemen abdomen sangat besar dan mempengaruhi banyak sistem vital pada tubuh. Hemodinamik, respirasi, renal, dan abnormalitas neurologi adalah bagian-bagian yang dipengaruhi sindrom kompartemen abdomen. Penatalaksanaan medis berupa laparatomi. Asuhan keperawatan berupa keterlibatan perawat terhadap monitoring kondisi klien, termasuk ukuran tekanan intra-abdominal.
ACS dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan penyebabnya :
1.        Primer atau ACS akut : jika patologi intra-abdominal terjadi secara langsung di bagian proksimal.
2.        ACS sekunder : tidak terdapat luka intra-abdominal, tetapi di luar abdominal yang dikarenakan akumulasi cairan.
3.        ACS kronik : jika disebabkan oleh sirosis dan asites (biasanya pada stadium lanjut ACS).
Pada bagian gawat darurat dan ICU, klien diduga mengalami ACS jika terjadi metabolik asidosis, penurunan output urin, dan penurunan curah jantung. Penyebab kasus ini hampir mirip dengan gejala patologis yang lain, seperti hipovolemi.

2. Etiologi
Sindrom kompartemen abdomen terjadi ketika IAP terlalu tinggi, mirip dengan sindrom kompartemen dalam ekstremitas.
Ada 3 jenis sindrom kompartemen abdomen yang berbeda dan kadang-kadang menyebabkan tumpang tindih.
1)  Primer (akut)
a.    Menembus trauma
b.    Intraperitoneal pendarahan
c.    Pankreatitis
d.   Eksternal mengompresi kekuatan, seperti puing-puing dari sebuah kendaraan bermotor tabrakan atau setelah struktur besar ledakan
e.    Patah tulang panggul
f.     Pecahnya aneurisma aorta perut
g.    Perforasi ulkus peptikum

2)  Sekunder
Sekunder ACS dapat terjadi pada pasien tanpa cedera intra-abdomen, ketika cairan terakumulasi dalam volume yang cukup untuk menyebabkan IAH.
a.    Resusitasi dengan volume besar menunjukkan peningkatan risiko signifikan ketika diberikan cairan lebih dari 3 L.
b.    Area luka bakar yang luas dan tebal  menunjukkan sindrom kompartemen abdomen dalam waktu 24 jam pada pasien luka bakar yang menerima rata-rata dari 237 mL / kg selama 12-jam dalam 2 periode (Hobson et al,2002)
c.    Menembus atau trauma tumpul tanpa cedera diidentifikasi
d.   Pascaoperasi
e.    Pengepakan dan penutupan fasia utama, yang meningkatkan insiden
f.     Sepsis

3)  Kronis
a.    Peritoneal dialysis
b.    Morbid obesitas
c.    Serosis
d.   Meigs sindrom (kumpulan dari asites, efusi pleura,dan tumor jinak ovarium)

3.  Faktor Resiko
1.                Penurunan daya komplians dinding abdomen
a.    Gagal napas akut khususnya dengan tekanan intra-thorakal yang meningkat.
b.    Pembedahan abdomen dengan jahitan primer fasia tertutup yang ketat.
c.    Trauma mayor/ luka bakar
d.   Posisi telungkup, tinggi kepala bed > 30 derajat
e.    Indeks massa tubuh yang tinggi, obesitas
2.    Peningkatan isi intra-lumen
Gastroparesis, Ileus, pseudo-obstruksi kolon
3.    Peningkatan isi abdomen
Hemoperitoneum / pneumoperitoneum, Ascites / disfungsi hati
4.    Kebocoran kapiler/ resusitasi cairan
a.    Asidosis
b.    Politransfusi (>10 unit darah / 24 jam)
c.    Koagulopati (platelet <> 15 detik atau partial thromboplastin time (PTT) > 2kali normal atau international standardised ratio (INR) > 1.5)
d.   Resusitasi cairan yang masif (> 5 L / 24 jam), Pankreatitis, Oliguria, Sepsis
e.    Trauma mayor/ luka bakar, laparotomi kontrol kerusakan.

 4. Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen.pembedahan perut dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus sebagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada pasien trauma.
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system syaraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan pathogenesis hipertensi intra-abdomendan perkembangannya menjadi ACS :
1.         Pelepasan sitokinin
2.         Pembentukan oksigen radikal bebas
3.         Penurunan produksi adenosine trifosfat pada sel
Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokinin dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami reperfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini memiliki efek toksik pada membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokinin, yang merangsang pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari adenosine triphosphat ini tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard, 2009)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peraturan intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sel membengkak, selaput kehilangan integritas, isi intraseluler keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan inflamasi (peradangan). Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan di usus semakin membengkak akibat dari semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, hipoksia seluler, kematian sel, peradangan, edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlík, J. 2004)
Jadi, pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen. Apabila tekanan intra-abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan dan akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan tekanan intra-abdomen. Meningkatnya tekanan intra-abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan kompartement sindrom abdominal.
Patofisiologi dampak ACS pada berbagai sistem organ :
a.    Disfungsi ginjal
Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS pada system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAP yang meningkat. IAP 15±20 mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi anuria. Mekanisme terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak faktor. ACS membuat gangguan pada kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran arteri ginjal, meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus dan kompresi vena ginjal.
b.    Disfungsi paru
Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami resultan reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume residu. Ini ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi selanjutnya akibat hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak. Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan tekanan ventilasi
c.    Disfungsi jantung
Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung.Ini ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakanhasil dari penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada venacava dan vena porta. Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada. Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke volume berkurang dimana hanya satu-satunya yang dikompensasi dengan meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan ini terjadi eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia.Perubahan hemodinamik signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
d.   Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan dengan IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasimikro hepatic berkurang hingga 29% dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang sama juga terjadi pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan trauma kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral yang terjadiselama syok
e.    Disfungsi Splaknik
Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek predominan dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusisplaknik dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemiaintestinal yang memerlukan intervensi operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumoperitonium. Bagaimanapun aliran darah arterimesenterikum, mukosa usus, dan vena porta telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster yangmengindikasikan penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi menunjukkan bahwapenurunan perfusi gaster disimpulkan dengan penurunan pHi gaster yangberkurang lebih awal dari tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan puncak inspirasimeningkat). Penurunan perfusi gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yangmeningkat. Ini kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi varises esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP hingga 10 mmHgmenghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan ketegangan dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi ditunjukkan dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dankegagalan organ multipel.
f.     Disfungsi system saraf pusat
Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapathubungan erat antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanismepeningkatan tekanan intrathora dimana dihasilkan dari IAH, elevasi media padadiafragma. Peningkatan tekanan intra-thorak meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis dan ICP yang meningkat telahterkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan demikian pemantauan IAPdisarankan pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen atau curiga IAHdengan pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP.

5.  Manifestasi Klinis
Gejala klinis ACS antara lain (Paula Richard MD, 2009) :
1.    Distensi abdomen yang berat
2.    Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
3.    Curah jantung yang menurun
4.    Tekanan darah yang labil
5.    pH rendah yang menetap
6.    Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
7.    Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)
Gejala klinis yang terjadi pada ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :
1.    Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2.    Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3.    Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4.    Parastesia (rasa kesemutan)
5.    Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan gejala yang khas pada kompartemen sindrom, yaitu:
1.    Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2.    Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit
3.    Terjadi kelemahan atau atrofi otot (Irga, 2008)
6.  Pemeriksaan Diagnostik
1.    Laboratorium :
a.    Comprehensive metabolic panel (CMP)
b.    Complete blood cell count (CBC)
c.    Amylase and lipase assessment
d.   Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi heparin
e.    Test untuk marker jantung
f.     Urinalisis and urine drug screen
g.    Pengukuran level serum laktat
h.    Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.
2.    Radiografi :
a.    Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.
b.    Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal.
c.    CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal :
1)   Round-belly sign – distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P <0.001)
2)   Kolaps vena kava
3)   Penebalan dinding usus dengan enhancement
4)   Hernia inguinal bilateral
5)   USG Abdomen
6)   Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
7)   Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan

7.    Penatalaksanaan
Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:
1. Grade I     :  IAP 12 – 15 mmHg
2. Grade II   :  IAP 16 – 20 mmHg
3. Grade III  :  IAP 21 – 25 mmHg
4. Grade IV :  IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis peritoneal atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha untuk melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan hasil pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir pada posisi supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen. Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan pada tekanan intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik dengan tekanan intraperitoneal. (Iberti, 1997).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
a.    Sistem grade kompartemen abdominal
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I      10–15 Pertahankan normovolemia
II    16–25 Resusitasi Hipervolemik
III          26–35 Dekompresi
IV   >35                   Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :
1.    Memperbaiki komplians dinding abdomen
-       Sedasi dan analgesik
-       Blokade neuromuskular
-       Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2.    Evakuasi isi intra-lumen
-       Dekompresi nasogaster
-       Dekompresi rektum
-       Agent gastro-/colo-prokinetik
3.    Evakuasi kumpulan cairan abdominal
-       Parasentesis
-       Drainase perkutan
4.    Koreksi keseimbangan cairan positif
-       Hindari resusitasi cairan berlebih
-       Diuretik
-       Koloid / cairan hipertonik
-       Hemodialisis / ultrafiltrasi
5.    Organ Pendukung
-       Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
-       Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
-       Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
-       Pplattm = Pplat – IAP
-       Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
-       Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
-       PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
-       CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1.    Evakuasi isi intralumen
2.    Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3.    Memperbaiki komplians dinding abdomen
4.    Optimalkan kebutuhan cairan
5.    Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

b.    Manajemen pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.

c.    Temporary abdominal closure
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl™), polypropylene (Marlex™), atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena (“Bogotá bag”), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape™ or Steri Drape™). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape ™ atau tirai Steri ™) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.

d.    Permanent abdominal closure
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau lebih faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley kateter melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin letak distal dari lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam posisitelentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.

8.    Komplikasi
Jika kompartemen sindrom tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain (Irga, 2008) :
1.    Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2.    Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3.    Trauma vascular
4.    Gagal ginjal akut
5.    Sepsis
6.    Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

9.   Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya. Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%. Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi

10. Asuhan Keperawatan
 3.1    KASUS SEMU
Ny. S, 35 tahun datang ke RS Pendidikan Universitas Airlangga dengan keluhan sesak, bagian perut semakin membesar, mual, muntah, dan terjadi oliguria, pasien juga terlihat tampak kurus dan BB semakin menurun. Tekanan darah labil, GCS = 4-5-6. Seminggu sebelum MRS, klien mengeluh nyeri hebat di perut bagian bawah. Sekitar 1 tahun yang lalu Ny. S pernah mengalami kecelakaan dan pernah rawat inap karena mengalami trauma tumpul pada perutnya.

3.2    PENGKAJIAN
1.      Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat tanggal masuk rumahsakit, diagnose medis.
Nama                    : Ny.S
Jenis Kelamin       : Perempuan
Umur                    : 35 Tahun
Agama                  : Islam
Pendidikan           : SMP
Pekerjaan              : Karyawan Swasta
Alamat                 : Surabaya
Masuk RS                        : 1 Mei 2012
2.        Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri di bagian perut bawah
3.      Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh rasa tidak nyaman pada abdomen dan mual muntah. 2 minggu SMRS, klien mengeluh nyeri hebat pada perut bagian bawah saat melakukan aktivitas berat dan mereda dalam keadaan rileks. Saat dalam keadaan nyeri, klien meminum analgesik untuk meredakan nyeri yang klien rasakan. Klien tidak memeriksakan keadaannya tersebut sampai bagian perutnya membesar disertai nyeri hebat dan sesak.   
4.      Riwayat penyakit dahulu
Sekitar 1 tahun yang lalu, klien pernah kecelakaan dan mengalami trauma tumpul pada perut. Klien mengaku tidak mempunyai penyakit gastritis, apendisitis, asma dan mengaku tidak memiliki riwayat alergi.
5.      Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada
6.      Pengkajian psiko-sosio-spiritual
a.          Intrapersonal : Klien merasa cemas
b.         Interpersonal : -
7.      Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan compartemen sindrom abdomen meliputi pemeriksaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
a.       B1 (Breath)     : Sesak, nafas tidak teratur
b.      B2 (Blood)      : Pucat, peningkatan tekanan darah, penurunan nadi
c.       B3 (Brain)        : Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang. Data psikologis Klien      nampak gelisah.
d.      B4 (Bladder)   : Oliguria
e.       B5 (Bowel)     : Mual, muntah, nafsu makan menurun. Nyeri tekan pada abdomen
f.       B6 (Bone)        : Kelemahan, lelah

3.3  ANALISIS DATA
Data
Etiologi
Masalah
DS : Klien mengeluh nyeri
DO :
P : Nyeri timbul akibat adanya benturan tumpul pada abdomen saat kecelakaan
Q : Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk
R : Terasa nyeri di bagian perut bawah
S : Skala nyeri 8 (skala antara 1-10)
T : Nyeri timbul ketika klien melakukan pergerakan
Trauma tumpul abdomen

Perdarahan intra abdomen
 

Hipertensi intra-abdomen

Nyeri
Nyeri
DS : Klien mengeluh sesak saat bernafas
DO : RR meningkat, RR = >20 x/menit
Tekanan intra-abdomen meningkat

Relaksasi diafragma terhambat

Kapasitas residual fungsional

Suplai O2 menurun

Sesak

Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan pola nafas
DS : Klien mengeluh lemas
DO : Klien terlihat pucat
Nadi : < 60 x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : < 20 x/menit
Akral : Dingin dan lembab
CRT : > 3 detik

Trauma abdomen

Perdarahan antara peritonial

Penurunan volume darah

Penurunan arus balik vena

Penurunan isi sekuncup

Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan
Penurunan perfusi jaringan
DS : Klien mengeluh jarang buang air kecil
DO : Urine output sedikit, <400 cc/24 jam, urin berwarna kuning pekat
Peningkatan tekanan intra-abdomen

Tekanan di pembuluh ginjal

Resistensi vaskular ginjal

Oliguria

Perubahan pola eliminasi
urin

Perubahan pola eliminasi urin
DS : Klien mengeluh tidak nafsu makan dan mual
DO :
A :
BB → 55 Kg, sedangkan BB idealnya 64,8 Kg
TB  → 172 cm
LILA→30 cm
B =  kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit, Albumin 3,5 gr/dl
C = Klien merasa mual dan terlihat lemas, membran mukosa pucat
D = Klien hanya menghabiskan setengah porsi ketika makan. Jenis diet tinggi kalori, tinggi protein
Nyeri

Mual & muntah

Penurunan intake nutrisi

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
DS : Klien mengeluh cemas dengan keadaan penyakit yang dialaminya
DO :
-  Insomnia
-  Gelisah
Penatalaksanaa pembedahan

Pre Operasi
 

Kurang pengetahuan

Anxietas
Anxietas

3.4  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan iskemik jaringan
2.    Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
3.    Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan yang mengakibatkan syok hipovolemik
4.    Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
5.    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun akibat adanya mual dan muntah
6.    Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI yang berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan

3.5  INTERVENSI
1.    Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen
Tujuan:  Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil:       
-          Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
-          Klien tidak merasa kesakitan.
-          Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tampak rileks (TD = 120/80 mmHg, N = 80 x/menit, RR = 15 x/menit)
Intervensi
Rasional
1.      Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman.

2.         Mengajarkan  tehnik relaksasi dan metode distraksi



3.         Beritahu pasien untuk menghindari mengejan, meregang, batuk, dan mengangkat benda yang berat. Ajarkan pasien untuk menekan insisi dengan tangan atau bantal selama episode batuk; ini khususnya penting selama periode pascaoperasi awal dan selama 6 minggu setelah pembedahan.
4.         Kolaborasi analgesic

5.         Kolaborasi pembedahan, seperti Laporotomi dekompresi
6.         Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian analgesik untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.

1.          Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

2.         Akan melancarkan peredaran darah, dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan


3.         Menghindari adanya tekanan intra abdomen





4.         Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang
5.         Merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan AC
6.  Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

2.    Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan                : Dalam waktu 3x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas. Klien dapat bernapas normal.
Kriteria hasil       : Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal16- 20x/ menit, ekspansi dada normal
Intervensi
Rasional
1. Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan

2. Auskultasi bunyi nafas

3. Pantau penurunan bunyi nafas


4. Pastikan kepatenan O2 binasal
5. Berikan posisi yang nyaman : semi fowler

6. Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam

7. Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
1. Frekuensi, irama, dan kedalaman napas yang normal menunjukkan pola napas yang efektif
2. Mendengarkan suara napas klien normal atau tidak
3. Penurunan bunyi napas klien menunjukkan adanya gangguan pada jalan napas.
4. Memenuhi kebutuhan oksigenasi klien.
5. Posisi semi fowler mempermudah udara masuk sehingga klien dapat bernapas dengan optimal.
6. Dengan latihan napas yang rutin, klien dapat terbiasa untuk napas dalam yang efektif.
7. Sebagai indikator efektif atau tidakkah intervensi yang dilakukan perawat pada klien.

3. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil
Kriteria hasil :
-            Terpeliharanya dan meningkatnya tingkat kesadaran
-            Menampakkan stabilitas tanda vital
-            Peran pasien menampakkan tidak adanya kemunduran / kekambuhan
                      Intervensi
Rasional
1. Monitor dan catat status neurologis secara teratur
2. Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya)
3. Monitor tanda – tanda vital

4. Bantu untuk mengubah pandangan, misalnya pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang

5. Bantu meningkatkan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi
6. Pertahankan tirah baring, sediakan lingkungan yang tenang, atur kunjungan sesuai indikasi

7. Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral

8. Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi
1. Memantau keadaan klien yang berhubungan dengan sarafnya
2. Mengetahui fungsi pupil masih normal atau tidak
3. Memantau keadaan klien melalui TTV
4. Membantu klien memperjelas penglihatannya untuk kenyamanan klien

5. Dengan bicara normal, klien bisa berkomonikasi dengan baik

6. Memberi kesempatan klien untuk istirahat total agar staminanya bisa pulih

7. Dengan posisi elevasi, klien bisa bernapas dengan mudah dan mencegah pusing
8. Memenuhi kebutuhan oksigen klien agar klien dapat bernapas dengan normal

4. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
Tujuan                :  Mengembalikan pola eliminasi urin normal.
Kriteria hasil      : Klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi urin.
INTERVENSI
RASIONAL
  1. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.


  1. Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam

  1. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
  2. Pantau TD dan CVP (bila ada)



  1. Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
1. Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
2. Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
3. Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan dieresis
4. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung
5. Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.


5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun akibat adanya mual dan muntah
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria hasil           :
-          Antropometri: berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan, lingkar lengan
-          Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
                  Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
-          Klinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah
-          Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah
Intervensi
Rasional
1.         Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien

2.         Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan.


3.         Mencatat  intake dan output makanan klien.

4.         Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakit

5.         Manganjurkn  makan sedikit- sedikit tapi sering.


1.         Mengetahui kekurangan  nutrisi klien.


2.         Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi untuk meningkatkan  pemenuhan nutrisi.

3.         Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien.

4.         Ahli gizi adalah spesialisasi dalam ilmu gizi yang membantu klien memilih makanan sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi, berat badannya.

5.         Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung.



6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI yang berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan
Tujuan : Klien memiliki pengetahuan untuk menjaga kesehatannya
Kriteria hasil : Klien bisa menjaga agar peningkatan intra abdomen tidak terjadi.
Intervensi
Rasional
1.      Ajarkan pasien untuk waspada dan melaporkan nyeri berat, menetap ; mual dan muntah ; demam ; dan distensi abdomen, yang dapat memperberat awitan inkarserasi atau strangulasi usus.
2.      Dorong pasien untuk mengikuti regimen pengobatan : penggunaan dekker atau penyokong lainnya dan menghindari mengejan, meregang, konstipasi, mengangkat benda yang berat.
3.      Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi diet tinggi residu atau menggunakan suplemen diet serat untuk mencegah konstipasi. Anjurkan masukan cairan sedikitnya 2 – 3 L/hari untuk meningkatkan konsistensi feses lunak.
4.      Beritahu pasien mekanika tubuh yang tepat untuk bergerak dan mengangkat, yaitu jangan terlalu melakukan banyak kegiatan dan jangan mengangkat beban yang terlalu berat
1.      Nyeri dapat segera diatasi, sehingga komplikasi tidak terjadi.




2.      Menghindari adanya peningkatan tekanan intra abdomen




3.      Saluran pencernaan menjadi lancar dan tidak ada konstipasi sehinggan mengejan tidak dilakukan.




4.      Mengangkat beban yang terlalu berat akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen.




4.1 KESIMPULAN
Kompartemen sindrom abdomen adalah peningkatan tekanan intra-abdomen setelah cedera pembedahan (biasanya disebabkan oleh peradangan). Gejala yang ditimbulkan meliputi hipoksia usus, distensi usus, oliguri, sesak napas. Klien mengalami gangguan ini jika terjadi metabolic asidosis, penurunan output urin, dan penurunan curah jantung. Penyebab kasus ini hampir mirip dengan gejala patologis yang lain, seperti hipovolemi.
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnyatekanan intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen(APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekananarteri rata-rata (MAP) ± tekanan intra-abdomen (IAP).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volumedengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Pasien dengan grade II harus ditanganiberdasarkan gejalanya. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Sebab laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS.

4.2 SARAN
Sebaiknya sedini mungkin penanganan diawali dengan berbagai tes laboratorium, disusul pada pemberian antibiotik, hingga akhirnya diadakan operasi karena banyak komplikasi yang ditimbulkan oleh kegawatan sistem pencernaan ini. Proses asuhan keperawatan yang tepat juga akan menentukan proses penyembuhan dari penyakit kompartemen sindrom abdomen tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Artawijaya, Agung. 2010. Anatomi Abdomen ~ Catatan Radiograf ™. catatanradiograf.blogspot.com/2010/08/anatomi-abdomen.htmi. Diakses tanggal 5 mei 2012
American Journal of Roentgenologi. 2007. Vol 189, No 5 1037-1043.
Doenges, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Irga. 2008. Sindroma Kompartemen. Diakses 12 November 2008. http://www.passangereng.blogspot.com
Jenkins, T. P. N. 2005. Volume 63, 11:873-876. Http://pmj.bmj/content/36/416/388.short. Diakses tanggal 20 April 2012 pukul 20.35 WIB
Kumalasari, Arief Muttaqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika: Jakarta.
Paula, Richard MD. 2009. Abdominal Compartment Syndrome. Available at www.emedicine.com / 829008-overview.htm
Pleva, J. ír, M. Mayzlík, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome inPolytrauma. In: Biomed. Papers 148(1), 81±84 (2004). Available athttp://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
Wilkinson, M. Judith. 2006. NIC NOC: Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 7. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith, M. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria NOC. Jakarta: EGC



Tidak ada komentar:

Posting Komentar